MASIH PERLUKAH KKM ?...
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)
adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga anak-anak sekolah, orang tua,
lebih-lebih guru. KKM sebuah angka patokan untuk menentukan anak tersebut
kompeten atau tidak pada bidang studi masing-masing pelajaran. Setiap Sekolah
berhak menentukan KKM sendiri sehingga KKM tidak sama antara sekolah satu
dengan sekolah lain. Contoh untuk sekolah A nilai KKM IPA 6.5 sedangkan
disekolah B KKM IPA bisa 8.5. Kok bisa beda… Karena untuk menentukan nilai KKM
tersebut ditentukan oleh Intake atau input anak, kompleksitas materi pelajaran,
dan daya dukung sarana prasarana.
KKM konsep awalnya sangat bagus
jika sekolah betul-betul obyektif. Tapi belakangan KKM hanya sebuah kamuplase
atau sebuah kedustaan nilai pendidikan. KKM bukan lagi ditentukan oleh 3 aspek tersebut diatas
tetapi ditentukan oleh prestise atau harga diri sebuah sekolah. KKM bukan lagi sekedar patokan untuk mengukur
obyektifitas anak tetapi semata-mata untuk meningkatkan poin akreditasi
sekolah. KKM bukan lagi alat ukur keberhasilan sekolah tetapi sebuah alat
dongkrak untuk mengangkat nilai dalam persiapan Ujian Nasional. Sehingga
sekolah dengan kelulusan 100% adalah sekolah yang berhasil mendidik anak dari segi kuantitas bukan dari
segi kualitas.
Ketika anak dibawah nilai KKM
maka anak diperkenankan remedial. Tetapi ketika anak remedial 4-5 kali bahkan
lebih. Maka ada dua kemungkinan, mungkin
anaknya yang bosan atau gurunya yang bosan. Kalau anaknya yang bosan maka
gurunya bisa membimbing untuk terus remedi walaupun hasil tidak terlalu
maksimal sehingga anak menyerah dan akhirnya minta tugas lain. Sehingga dipilih
lagi tugas lain contohnya beli buku dengan harga yang mahal syukur-syukur kalau
ketemu bukunya…kalau nggak ketemu maka terkadang guru mengatakan “titipkan aja
uangnya…nanti ibu yang carikan”. Secara
tidak sadar guru yang tadinya tidak ingin seperti ini karena sistem yang
memaksa harus sesuai KKM maka guru terpaksa harus mengajarkan cara-cara yang
justru mengajarkan cara-cara “Suap” kecil-kecilan demi mencapai sesuatu karena suatu sistem. Padahal
mungkin anak yang bersangkutan nilai sudah 7 tetapi karena KKM 7,5 maka dengan
terpaksa harus berani menanggung resiko seperti cara tersbut diatas.
Lalu bagaimana kalau gurunya yang
bosan maka ini lebih memudahkan anaknya
karena biasanya anak tidak dibebani tugas-tugas tetapi dengan “bim salabim”
anak langsung mendapatkan nilai standart KKM. Namun sekali lagi nilai yang
diperoleh jauh dari nilai obyektifitas.
Belum lagi kalau ada kepentingan
kepentingan tertentu sebagai contoh kasus. Pada sitem penilaian akreditasi
salah satu poin penunjang agar akreditas mendapatkan skor A maka untuk
pelejaran yang berbasis IPTEK seperti Komputer,
IPA, IPS Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, Agama harus KKM 7,5 Nah..dari
kasus ini untuk meningkatkan skor akreditasi maka sekolah mematok nilai mata
pelejaran tersebut dengan 7,5 tanpa memeperhitungkan Intake, Kompleksitas dan
daya dukungnya. Alhasil banyak sekolah – sekolah yang tidak jujur dan tidak
bijak dalam mematok KKM demi meningkatkan
harga diri (prestise).
Belum lagi kalau kita melihat
rentang kecerdasan anak. Saya yakin 100 % bahwa dalam suatu kelas tidak ada
anak yang pintar semua atau sebaliknya tidak ada anak yang tidak pintar semua.
Maka ada anak yang pintar ada anak yang sedang dan ada anak yang kurang. Kalau seandainya sekolah sudah menetapkan
nilai KKMnya 7,5 maka 7,5 adalah untuk standar anak yang sangat pas-pasan. Lalu
bagaimana dengan anak yang sedang apakah pantas nilainya harus sama dengan yang
pas-pasan. Lalu bagaimana dengan yang pintar, lalu yang pintar sekali, lalu ada
yang jenius.
Sehingga sering kita melihat
nilai-nilai peserta didik bertaburan angka-angka 8, 9 bahkan ada nilai 10.
Tidak ada yang salah dari penilaian tersebut selama nilai tersebut Obyektif.
Namun Ketika sekolah dengan kebijakan mematok
KKMnya 8,0 maka syarat seorang naik kelas harus 8,0. Maka kita tidak begitu yakin nilai tersebut hasil jerih payahnya. Bisa jadi
Nilai Kasihan dari gurunya, bisa jadi nilai bim salabim, bisa jadi nilai “suap”.
Maka terkadang orang tua dibutakan
dengan nilai ketika melihat anaknya nilai bertaburan 8. Begitu bangganya
melihat raport anaknya padahal semua nilai pas-pasan dengan KKM.
KKM juga tidak bisa dijadikan
tolak ukur bahwa sekolah berhasil atau tidak dalam meningkatkan prestasi
belajar. Karena tidak ada yang bisa menjamin KKM yang tinggi menunjukkan
prestasi anak juga bagus. Bisa jadi sekolah dengan KKM rendah justru memilki
anak-anak yang memilki prestasi tinggi.
Melihat Kondisi tersebut untuk penilaian KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) saya cenderung
kepada nilai apa adanya yang diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Dengan
format penilaian yang sederhana. Contohnya ambilkan dari penggabungan nilai
ulangan dan nilai semester dibagi dua atau pertimbangan lainnya. Tidak perlu target harus sekian-sekian seperti KKM. Syarat kenaikan juga sederhana yang
penting nilai tidak ada yang dibawah enam. Dengan kehadiran 90 %. Jika ini
diterapkan secara konsekuen maka pendidikan akan mengalami kemajuan. Justru kesederhanaan ini merupakan langkah
awal untuk maju. Anak-anak akan jelas melihat nilai-nilai secara obyektif Tanpa harus dibayangi dengan KKM. Kalau Alasan
untu pembelajaran tuntas. Justru ketuntasan ini
yang dimaksud ketuntasan alami tanpa terpengeruh oleh sistem.
Lalu saya munculkan kembali
pertanyaan diatas “masih perlukah KKM”.
Ditulis oleh : Sukarni Chandra,
S.Pd
Guru/Waka Kurikulum SMK Negeri 3
Balikapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar