Senin, 24 September 2018

Masih Perlukan KKM ?...


MASIH PERLUKAH KKM ?...
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga anak-anak sekolah, orang tua, lebih-lebih guru. KKM sebuah angka patokan untuk menentukan anak tersebut kompeten atau tidak pada bidang studi masing-masing pelajaran. Setiap Sekolah berhak menentukan KKM sendiri sehingga KKM tidak sama antara sekolah satu dengan sekolah lain. Contoh untuk sekolah A nilai KKM IPA 6.5 sedangkan disekolah B KKM IPA bisa 8.5. Kok bisa beda… Karena untuk menentukan nilai KKM tersebut ditentukan oleh Intake atau input anak, kompleksitas materi pelajaran, dan daya dukung sarana prasarana.  

 
KKM konsep awalnya sangat bagus jika sekolah betul-betul obyektif. Tapi belakangan KKM hanya sebuah kamuplase atau sebuah kedustaan nilai pendidikan. KKM bukan lagi  ditentukan oleh 3 aspek tersebut diatas tetapi ditentukan oleh prestise atau harga diri sebuah sekolah.  KKM bukan lagi sekedar patokan untuk mengukur obyektifitas anak tetapi semata-mata untuk meningkatkan poin akreditasi sekolah. KKM bukan lagi alat ukur keberhasilan sekolah tetapi sebuah alat dongkrak untuk mengangkat nilai dalam persiapan Ujian Nasional. Sehingga sekolah dengan kelulusan 100% adalah sekolah yang berhasil  mendidik anak dari segi kuantitas bukan dari segi kualitas.
Ketika anak dibawah nilai KKM maka anak diperkenankan remedial. Tetapi ketika anak remedial 4-5 kali bahkan lebih. Maka ada dua kemungkinan,  mungkin anaknya yang bosan atau gurunya yang bosan. Kalau anaknya yang bosan maka gurunya bisa membimbing untuk terus remedi walaupun hasil tidak terlalu maksimal sehingga anak menyerah dan akhirnya minta tugas lain. Sehingga dipilih lagi tugas lain contohnya beli buku dengan harga yang mahal syukur-syukur kalau ketemu bukunya…kalau nggak ketemu maka terkadang guru mengatakan “titipkan aja uangnya…nanti ibu yang carikan”.  Secara tidak sadar guru yang tadinya tidak ingin seperti ini karena sistem yang memaksa harus sesuai KKM maka guru terpaksa harus mengajarkan cara-cara yang justru mengajarkan cara-cara “Suap” kecil-kecilan demi  mencapai sesuatu karena suatu sistem. Padahal mungkin anak yang bersangkutan nilai sudah 7 tetapi karena KKM 7,5 maka dengan terpaksa harus berani menanggung resiko seperti cara tersbut diatas.
Lalu bagaimana kalau gurunya yang bosan maka  ini lebih memudahkan anaknya karena biasanya anak tidak dibebani tugas-tugas tetapi dengan “bim salabim” anak langsung mendapatkan nilai standart KKM. Namun sekali lagi nilai yang diperoleh  jauh dari nilai obyektifitas.
Belum lagi kalau ada kepentingan kepentingan tertentu sebagai contoh kasus. Pada sitem penilaian akreditasi salah satu poin penunjang agar akreditas mendapatkan skor A maka untuk pelejaran yang berbasis IPTEK seperti  Komputer,  IPA, IPS Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,  Agama harus KKM 7,5 Nah..dari kasus ini untuk meningkatkan skor akreditasi maka sekolah mematok nilai mata pelejaran tersebut dengan 7,5 tanpa memeperhitungkan Intake, Kompleksitas dan daya dukungnya. Alhasil banyak sekolah – sekolah yang tidak jujur dan tidak bijak  dalam mematok KKM demi meningkatkan harga diri (prestise).
Belum lagi kalau kita melihat rentang kecerdasan anak. Saya yakin 100 % bahwa dalam suatu kelas tidak ada anak yang pintar semua atau sebaliknya tidak ada anak yang tidak pintar semua. Maka ada anak yang pintar ada anak yang sedang dan ada anak yang kurang.   Kalau seandainya sekolah sudah menetapkan nilai KKMnya 7,5 maka 7,5 adalah untuk standar anak yang sangat pas-pasan. Lalu bagaimana dengan anak yang sedang apakah pantas nilainya harus sama dengan yang pas-pasan. Lalu bagaimana dengan yang pintar, lalu yang pintar sekali, lalu ada yang jenius.
Sehingga sering kita melihat nilai-nilai peserta didik bertaburan angka-angka 8, 9 bahkan ada nilai 10. Tidak ada yang salah dari penilaian tersebut selama nilai tersebut Obyektif. Namun Ketika sekolah dengan kebijakan  mematok KKMnya 8,0 maka syarat seorang naik kelas harus 8,0. Maka kita  tidak begitu yakin  nilai tersebut hasil jerih payahnya. Bisa jadi Nilai Kasihan dari gurunya, bisa jadi nilai bim salabim, bisa jadi nilai “suap”. Maka terkadang orang tua  dibutakan dengan nilai ketika melihat anaknya nilai bertaburan 8. Begitu bangganya melihat raport anaknya padahal semua nilai pas-pasan dengan KKM.
KKM juga tidak bisa dijadikan tolak ukur bahwa sekolah berhasil atau tidak dalam meningkatkan prestasi belajar. Karena tidak ada yang bisa menjamin KKM yang tinggi menunjukkan prestasi anak juga bagus. Bisa jadi sekolah dengan KKM rendah justru memilki anak-anak yang memilki prestasi tinggi.  
Melihat Kondisi  tersebut untuk penilaian  KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) saya cenderung kepada nilai apa adanya yang diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Dengan format penilaian yang sederhana. Contohnya ambilkan dari penggabungan nilai ulangan dan nilai semester dibagi dua atau pertimbangan lainnya. Tidak perlu  target harus sekian-sekian seperti  KKM. Syarat kenaikan juga sederhana yang penting nilai tidak ada yang dibawah enam. Dengan kehadiran 90 %. Jika ini diterapkan secara konsekuen maka pendidikan akan mengalami kemajuan.  Justru kesederhanaan ini merupakan langkah awal untuk maju. Anak-anak akan jelas melihat nilai-nilai secara obyektif  Tanpa harus dibayangi dengan KKM. Kalau Alasan untu pembelajaran tuntas. Justru ketuntasan ini  yang dimaksud ketuntasan alami tanpa terpengeruh oleh sistem.
Lalu saya munculkan kembali pertanyaan diatas “masih perlukah KKM”.
Ditulis oleh : Sukarni Chandra, S.Pd
Guru/Waka Kurikulum SMK Negeri 3 Balikapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar